Dalam konteks pengembangan backend, istilah "Arsitektur Monolitik" mengacu pada pola desain perangkat lunak di mana berbagai komponen aplikasi, seperti antarmuka pengguna (UI), logika bisnis, dan akses data, semuanya terintegrasi dengan erat dan disimpan dalam satu, unit mandiri. Pola arsitektur ini sangat berbeda dari pendekatan yang lebih modern seperti layanan mikro, di mana komponen dipisahkan menjadi layanan yang berbeda dan digabungkan secara longgar.
Arsitektur monolitik dicirikan oleh kesederhanaannya, karena pengembang hanya perlu mengerjakan satu basis kode. Pendekatan yang disederhanakan ini memungkinkan pengembangan aplikasi yang cepat, menjadikannya pilihan yang populer, terutama untuk proyek berskala kecil atau yang memiliki persyaratan yang jelas. Meskipun tampak sederhana, bagaimanapun, arsitektur monolitik memiliki kekurangan, seperti yang akan dibahas segera.
Aplikasi monolitik biasanya disusun menjadi tiga komponen utama: presentasi, logika bisnis, dan lapisan akses data. Lapisan presentasi, yang bertanggung jawab untuk merender UI, berinteraksi langsung dengan lapisan logika bisnis, yang meliputi fungsionalitas inti aplikasi. Lapisan logika bisnis, pada gilirannya, berkomunikasi dengan lapisan akses data, yang menangani koneksi basis data dan operasi pengambilan/penyimpanan data. Dalam arsitektur monolitik, ketiga lapisan ini digabungkan dengan erat, dengan masing-masing komponen bergantung pada yang lain agar berfungsi dengan baik.
Kopling yang ketat antar komponen dapat menjadi keuntungan dan kerugian. Di satu sisi, ini menyederhanakan komunikasi antara berbagai komponen, karena semuanya merupakan bagian dari satu sistem tunggal yang terpadu. Ini dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik, karena tidak ada latensi jaringan atau overhead yang terkait dengan komunikasi antar-layanan, seperti yang terlihat pada arsitektur layanan mikro. Di sisi lain, penggabungan yang ketat ini mempersulit penskalaan atau modifikasi komponen individual aplikasi tanpa memengaruhi keseluruhan sistem. Akibatnya, arsitektur monolitik sering mengalami keterbatasan fleksibilitas, skalabilitas, dan pemeliharaan dibandingkan dengan mitra layanan mikro mereka.
Terlepas dari keterbatasan ini, banyak aplikasi yang berhasil dibangun menggunakan arsitektur monolitik. Misalnya, awalnya dikembangkan menggunakan arsitektur monolitik, Netflix berhasil menskalakan basis pengguna dan pustaka kontennya secara signifikan sebelum akhirnya mengadopsi pendekatan layanan mikro. Dalam beberapa kasus, arsitektur monolitik terbukti menjadi pilihan desain yang tepat, terutama ketika ruang lingkup dan persyaratan proyek didefinisikan dengan baik dan tidak mungkin berubah secara signifikan dari waktu ke waktu.
Transisi dari arsitektur monolitik ke arsitektur layanan mikro dapat menjadi pekerjaan yang rumit dan memakan waktu, tetapi dapat menghasilkan manfaat yang signifikan dalam hal skalabilitas dan pemeliharaan. Beberapa strategi dan alat, seperti desain berbasis domain (DDD) dan teknologi kontainerisasi seperti Docker, dapat membantu transisi ini. Namun, organisasi harus mempertimbangkan biaya migrasi terhadap manfaat yang diinginkan sebelum memulai upaya tersebut.
Dalam konteks AppMaster , platform no-code untuk membuat aplikasi backend, web, dan seluler, penggunaan arsitektur monolitik terkadang menguntungkan. AppMaster memungkinkan pelanggan untuk membuat model data secara visual (skema basis data), menentukan proses bisnis melalui Desainer BP visualnya, dan membuat endpoints REST API dan WSS. Sementara backend biasanya dihasilkan dengan Go (golang) untuk skalabilitas, aplikasi yang dihasilkan dapat bekerja dengan database apa pun yang kompatibel dengan PostgreSQL sebagai database utama. AppMaster juga membuat dokumentasi Swagger (Open API) dan skrip migrasi skema basis data secara otomatis, memastikan pengalaman pengembangan yang mulus.
Dengan menggunakan platform AppMaster, pengembang dapat membuat aplikasi dengan cepat dan hemat biaya, dengan arsitektur monolitik berfungsi sebagai opsi yang layak untuk kasus penggunaan tertentu, terutama yang ditandai dengan persyaratan yang terdefinisi dengan baik dan cakupan yang lebih kecil. AppMaster mendukung pembuatan executable, wadah Docker, atau kode sumber (bergantung pada paket berlangganan) dan memungkinkan hosting aplikasi di tempat untuk menambah fleksibilitas.
Arsitektur monolitik menawarkan kesederhanaan dan manajemen kode terpadu dalam konteks pengembangan backend. Kadang-kadang bisa menjadi pilihan yang tepat, terutama untuk proyek skala kecil atau yang memiliki ruang lingkup dan persyaratan yang jelas. Namun, penting untuk mempertimbangkan batasannya terkait fleksibilitas, skalabilitas, dan pemeliharaan saat memilih pola arsitektur yang sesuai. AppMaster, platform no-code, menyediakan solusi pengembangan aplikasi backend, web, dan seluler yang melayani berbagai preferensi arsitektur, termasuk arsitektur monolitik, yang pada akhirnya memberdayakan pengembang untuk membuat pilihan terbaik untuk proyek spesifik mereka.